SEJARAH PONDOK PESANTREN AL FATAH
PARAKANCANGGAH BANJARNEGARA
KH. ABDUL FATAH
(PENDIRI P.P AL
FATAH)
A.
MASA KECIL KH.
ABDUL FATAH
Abdullah Faqih,
demikian nama seorang bayi yang lahir pada pertengahan abad ke 19 yang kelak
setelah menunaikan ibadah haji berganti nama Abdul Fatah. Diperkirakan beliau
dilahirkan pada tahun 1860 M di dukuh Sawangan desa Selagara Kecamatan Madukara
Kabupaten Banjarnegara Propinsi Jawa Tengah.Putera kedua dari empat putera
Simbah Kiyai Naqim tersebut memang dilahirkan di tengah-tengah keluarga “Santri”
yang memang teguh ajaran agama Islam.
Masa kecil
KH.Abdul Fatah dihabiskan di kampung halamannya bersama orang tua dan
saudara-saudaranya.Yahya adalah kakaknya, sedangkan Bahri dan Dahlan adalah
adik-adiknya.Demikian menurut penuturan KH. Ridlo Fatah, putera bungsu KH.
Abdul Fatah.
Sebagaimana
lazimnya situasi pada masa kolonialisme/penjajahan Belanda, masa kanak-kanak
KH.Abdul Fatah dilaluinya dalam kondisi yang masih jauh dari alam
kemerdekaan.Pendidikan formal yang ditempuhnya, tidak lebih dari tingkat Sekolah
Rakyat (SR) setingkat SD saja. Politik Belanda, yang berkuasa lebih tiga abad,
menutup jalan rakyat biasa untuk meneruskan pendidikan yang lebih tinggi.
Situasi
tersebut tidak mengendorkan semangat KH. Abdul Fatah untuk terus ber- tholabul ‘ilmi. Apalagi didukung suasana
agamis keluarga Kiyai Naqim semakin mendorong himmah (cita-cita) KH.Abdul Fatah untuk tidak berhenti-hentinya
menimba ilmu agama Islam. Sehingga, hampir semua waktunya dimasa kecil
dihabiskan untuk mengaji kepada ayahnya, serta di “langgar” Dukuh Sawangan .
Sebagai anak
petani, KH.Abdul Fatah juga mengisi masa-masa di kampungnya dengan membantu
orang tuanya dalam bercocok tanam di sawah. Keterampilan pertanian inilah,
nantinya akan membentuk sikap tangguh dan dewasa KH. Abdul Fatah dalam
perjalanan hidupnya di masa-masa selanjutnya.Kegiatan pertanian bersama orang
tuanya ini, terus dilakukannya sampai meninggalkan kampung untuk mondok ke
Gunung Tawang Wonosobo.
Bakat, tabiat
dan watak KH. Abdul Fatah, semenjak kecil memang mencerminkan sebagai calon
pemimpin, hatinya tulus, budinya baik, akhlaknya terpuji, kecerdasannya diatas
rata-rata temanya, serta selalu taat beragama dan berbakti kepada kedua orang
tuanya.
B. MASA MENGAJI DAN MONDOK
Selepas masa
kanak-kanaknya, KH.Abdul Fatah ingin memperdalam pengetahuan agamanya kepada
para ‘ulama.Ghirah dan hasrat yang kuat untuk menguasai ilmu-ilmu agama
benar-benar terpancar dalam diri KH. Abdul Fatah, kelak cita-citanya meneruskan
perjuangan para ‘ulama sebagai waratsatul
anbiya, pewaris para ‘ulama.
Pondok
Pesantren Gunung Tawang adalah tempat pertama kali KH.Abdul Fatah menaungi
dunia pesantren.Dibawah asuhan Romo Kiyai Balqin, pemuda KH.Abdul Fatah
meneruskan kajian agamanya yang pernah diterima dari ayahnya dan Kiyai di
Kampungnya.Selain itu alat (Nahwu-Shorof), Ilmu Fiqih, Tauhid dan Tasyawuf
merupakan materi yang dikembangkan di Pesantren ini.
Setelah usai
merampungkan pendidikannya di Gunung Tawang, pemuda KH.Abdul Fatah meneruskan
kajiannya kepada Kiyai Syuhada’, di Desa Pesantren Banjarnegara.
Dari pesantren,
pemuda KH. Abdul Fatah terus mondok ke Pondok Pesantren Kaweden Banyumas, suatu
desa yang berdekatan dengan kota Kroya. Di Pesantren ini, KH. Abdul Fatah
senantiasa memperbanyak riyadhoh,
Tirakat, puasa dan amalan-amalan lainnya yang dapat meambah taqarrub kepada Allah SWT serta
membersihkan hati dan jiwa (tazkiyatul-Qalbi
Wa tashfiatutunn - nafsi).
Dikisahkan,
beliau pernah menjalani makan buah “Pace” (pahit rasanya) selama dua
tahun.Beliau senantiasa ngliwet (menanak nasi) dengan mencampur beras dan
kerikil, agar makannya tidak banyak, sebab setiap makan pasti memilah-milah
kerikil terlebih dahulu.
Setelah
mendapat izin dari gurunya untuk pulang atau pindah, pemuda KH.Abdul Fatah
bermaksud pulang dahulu ke Sawangan.Akhirnya, jadilah beliau meninggalkan
pesantren Kaweden dengan berjalan kaki, karena saat itu memang alat
transportasi masih amat jarang.
Dalam
perjalanannya, sesampainya di Desa Prakancanggah, sudah keburu sholat Maghrib
(senja), sehingga KH.Abdul Fatah singgah di rumah Kepala Desa Parakancanggah
masa itu, yang bernama Mbah Rebath.Meskipun maksudnya hanya ingin menumpang
sholat saja, disini KH.Abdul Fatah bertemu dengan jodohnya, yaitu salah seorang
cucu Kepala Desa.
Dikisahkan
pula, sungguhpun sudah dinikahkan, KH.Abdul Fatah masih terus melanjutkan
modoknya di Jawa Timur. Hal itu, selain isterinya masih berusia 6 (enam)
tahun, jugakarena persyaratan yang
disodorkan oleh mertuanya. Wal hasil, berangkatlah KH.Abdul Fatah ke Jawa Timur.
Perjalanan
Banjarnegara sampai Jawa Timur kurang lebih 350 KM. Ditempuh dengan berjalan
kaki, sampai akhirnya menimba ilmu diberbagai pondok, antara lain di Pondok
Pesantren Mangunsari, Pondok Pesantren Cepoko dan Pondok Pesantren
Mojosari.Ketika Pondok Pesantren tersebut berada di Kabupaten Nganjuk.
Disinilah KH. Abdul Fatah bertemu dengan beberapa teman yang dikemudian hari
menjadi pelopor pendiri Jam’iyah
Nahdlatul ‘Ulama seperti KH. Abdul Wahab Chasbulloh (pengasuh
PP.Tambakberas Jombang Jawa Timur). Setelah dari Mojosari, beliau masih mondok
lagi ke Pondok Pesantren Josremo Surabaya.Pengembaraan dalam menuntut ilmu dari
Jawa Timur ini, dilakukan oleh KH.Abdul Fatah sampai kurang lebih 17 tahun.
C. PERNIKAHAN DAN KELUARGANYA
Seperti
maklumi, KH.Abdul Fatah mengakhiri masa lajangnya setelah pulang dari Pondok
Pesantren Kaweden Banyumas.Dalam perjalanan pulangnya, beliau singgah di rumah
Kepala Desa Parakancanggah, Mbah Rebath, untuk menunaikan sholat Maghrib.
Dikisahkan,
bahwa usai melaksanakan sholat Maghrib, Mbah Rebath terus berbincang-bincang
dengan sang tamu (pemuda yang dulunya bernama Abdullah Faqih). Diantara isi
percakapannya beliau menanyakan tentang, ” jati diri sang tamu, darimana dan
mau kemana”, begitulah kira-kira ringkasannya. Sebagai seorang santri yang
perwira dan tertanam jiwa ketulusan dan kejujuran. Pemuda tersebut menjawab
dengan tegas, bahwa namanya Abdullah Faqih, “baru pulang dari Pondok Pesantren
Kaweden Banyumas, kemudian akan menuju rumah di Desa Sawangan”.
Mendengar
sang tamu baru mondok, Mbah Rebath tertarik sekali, sehingga beliau memanggil
Danu, puteranya. Kata Mbah Rebath, ”Nu... ini ada tamu, santri Pondok, dari
Sawangan, coba ditawari saja menjadi Kiyai disini, kalau bersedia akan saya
buatkan Langgar (Mushola)”. Pemuda Abdullah Faqih akhirnya menjawab dengan
sikap bijak, “ saya bersedia jika orang tua saya memberikan izin”, katanya.
Setelah diadakan pertemuan antara Mbah Rebath, Mbah Danu dengan orang tua
Abdullah Faqih, akhirnya maksud baik Mbah Rebath kesampaian juga, bahkan pemuda
Abdul Fatah diminta pula untuk menikahi puterinya Mbah Danu yang bernama Sinun.
Seperti
di jelaskan di atas, bahwa Sinun saat tergolong anak-anak (kurang lebih 6
tahun), sehingga setelah pernikahan praktis belum bisa berkumpul dalam satu
rumah.Batulah seusai mondok dari jawa timur, KH.Abdul Fatah mulai menetap di
Parakancanggah Banjarnegara.
Dari
hasil pernikahan tersebut, Eyang Guru adalah KH. Abdul Fatah menurunkan tiga
orang putri dan tiga orang putra.Siti Maryam adalah putri pertamanya yang
meninggal dunia sebelum menikah, sedangkan putri yang ke dua Siti Badryah, yang
menikah dengan KH.Damanhuri, kemudian Umi Kulsum merupakan putri beliau yang ke
tiga, menikah dengan KH.Chamzah.
Putra
ke empat Eyang Guru adalah KH. Hasan, menikah dengan Ny. Hj. Sama’ I dan Ny.
Hj. Choeriyah. Kemudian Qomarudin sebagai anak ke lima, iya meninggal dunia
sewaktu masih muda. Sedangkan putra ke enamnya adalah KH. Ridlo, menikah dengan
Ny. Nafsiyah.
Dari
ke enam putra-putrinya tersebut sampai saat ini ( 12 Robiul Akhir 1428 H )
menurut catatan penulis telah menurunkan 27 cucu, 98 cicit, 64 canggah dan 4
orang wareng. Mereka semua tersebar di berbagai kota di tanah air, yang
berprofesi beraneka ragam. Di antara mereka ada yang menjadi Ulama’, Guru,
Anggota Legislatif, Wirasswasta, Penjabat Pemerintah dsb.
D. MENDIRIKAN
PONDOK PESANTREN
Setelah
menghabiskan umurnya malang melintang dalam mencari ilmu agama diberbagai
Pondok Pesantren, pada tahun 1897 M KH. Abdul Fatah pulang dari Pondok
Pesantren Josremo. Setibanya di Banjarnegara, sang mertua dan istri sudah tidak
sabar lagi menantikan Eyang Guru KH. Abdul Fatah. Sesuai rencana 17 tahun
sebelumnya, santri tulen Abdul Fatah ahirnya benar-benar mukim di Desa
Parakancanggah.
Kedalamanya
terhadap ilmu-ilmu agama yang menjadikan KH. Abdul Fatah benar-benar sebagai
seorang ‘Alim yang patut disegani. Tidaklah mengherankan jika kemudian disaat
kepulanganya dari Jawa Timur beliau diikuti oleh banyak santri ( murid ).
Sebagian santri tersebut sampai ada yang menikah di Parakancanggah, hingga
wafat di situ pula.Dikisahkan, Skholehan adalah salah seorang santri yang
berasal dari Nganjuk, iya wafat di Desa Sayer semasa masih berjuang.Maka, sudah
selayaknya sampainya di Parakancanggah, beliau mendirikan sebuah langgar untuk
para santrinya.
Tidak
lama kemudian, karna posisi Parakancanggah wetan yang dekat dengan jalan raya,
Eyang Guru berkeinginan hijrah ke tempat yang lebih tenang, yakni di
Parakancanggah kidul ( Jambansari ). Di tempat inilah semenjak tahun 1901 M didirikan sebuah masjid, sekaligus Pondok
Pesantren.
Pondok
Pesantren yang sepeninggalanya beliau dinamakan “ Pondok Pesantren Al- Fatah ”
ini merupakan salah satu tinggalan Eyang Guru, setelah bertahun-tahun mencari
ilmu. Diharapkan sesuai dengan misi beliau selama mondok di Pondok Pesantren
tersebut akan ber munculan kader-kader penerus Ahlussunah Waljama’ah ‘Ala-
Madzhib Al- Arba’ah.
Semakin
hari, Pondok Pesantren di Dusun Jambansari ini semakin mendapat simpati dikalangan
masyarakat Banjarnegara terutama kaum muslim Parakancancanggah, hingga akhirnya
benar-benar menjadi benteng pertahanan akhir Umat Islam Banjarnegara dari masa
ke masa.
E. BERDAKWAH
ولتكن منكم امة يدعون الى الخيرويا مرون
بالمعروف وينهون عن المنكر واولئك هم المفلحون (ال عمران 104)
“Dan
hendaklah ada diantara kaum sekalian segolongan umat yang mengajak (manusia)
kepada dan menyuruh (mereka berbuat)
yang ma’ruf dan mencegahkejahatan. Mereka itulah orang-orangmendapatkan
keberuntungan” (Q. S Ali ‘mron :104).
ادع
الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي احسن (النحل 125)
“Serluruh
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta
bantahlah mereka dengan cara yang baik”
(Q. S An-Nahl :125)
Di
ilhami oleh mutiara-mutiara ayat di atas, Eyang Guru juga selalu menda’wahkan
agama islam dikalangan masyarakat Banjarnegara.
Pertama
kali, Eyang Guru KH.Abdul Fatah berda’wah Bil-Lisan (denagan berceramah)
di langgar yang baru saja beliau dirikan di Jambansari.Bentuk kegiatan da’wah
dikemas dalam pengajian mingguan.Pengajian terbuka lebar bagi kaum
Muslimin.Aktifitas semacam inilah yang sampai saat sekarang dikembangkan
sebagai pengajian bulanan.
Kemudian
berbagai hal juga ditempuh oleh Eyang Guru. Selain berupaya memberantas
bentuk-bentuk kemaksiatan, Beliau gigih melawan penjajahan belanda, prinsip
agama Hubbul-Wathon Minal-Iman, cinta tanah air sebagian dari iman
benar-benar didada Eyang Guru hingga detik paling akhir menghembuskan nafas,
kegigihannya dalam berda’wah nampak sekali pada Eyang Guru.
Kepiwaannya
dalam mengajak masyarakat juga dituangkan dengan caraMujadalah Billati
Ahsan, maksudnya memberikan bantahan kepada orang-orang yang belum
mengikuti ajaran agama islam dengan argumentasi (alasan) yang baik dan tepat. Dikisahkan,
bahwa masyarakat Parakancanggah dahulu kebiasaan “nanggap wayang kulit” setiap
ada hajatan.Di dalam acara tersebut digunakan pula ajang perjudian dan
kemaksiatan lainnya.Eyang Guru KH. Abdul Fatah lalu menawarkan “pengajian
kitab” sebagai pengganti acara “wayangan”, dengan pertimbangan, selain mengirit
biaya, juga lebih membawa manfa’at bagi tuan rumah, tamu undangan, maupun
masyarakat. Setelah diupayakan sekali saja, akhirnya acara “pengajian kitab”
tersebut lebih disenangi dari pada kebiasaan mereka “wayangan”.
F. PERGI KE TANAH SUCI DAN MENJADI MURSYID THORIQOH
Untuk
menyempurnakan semua Ubudiahnya, Eyang Guru menunaikan ibadah Haji ke
tanah Suci. Belum ditemukan sumber yang kuat, tentang kapan (tahun berapa)
Eyang Guru menunaikan Haji yang pertama kalinya. Jelasnya, pada tahun 1918,
beliau menunaikan ibadah Haji yang ketiga kalinya.Menurut penuturan Romo
KH.Hasyim Hasan dari Mbah KH. Hasan, dikisahkan pada masa itu Eyang Guru
dipercaya masyarakat Banjarnegara untuk memimpin jama’ah Haji wilayah tersebut,
sehingga beliau dapat berkesempatan berziarah ke Makkah Al-Mukarrumah dan
Madinah Al-Munawaroh beberapa kali. Mbah KH. Hasan sendiri pernah
menyertai kepergian beliau dalam menunaikan ibadah Haji yang kelima kalinya.
lbadah haji
Eyang Guru tahun 1918 M merupakan perjalanan yang paling bersejarah bagi
beliau. Pada saat itu, selain menunaikan ibadah Haji, Eyang Guru juga
memperdalam ilmu tashawufnya. Dikisahkan, beliau mengikuti suluk selama
delapan puluh hari, sampai akhirnya ketanah air diberi izin oleh Gurunya,
Syaikh Ali Ridlo ibn Syaikh Sulaiman Zuhdi untuk menjadi Mursyid Thoriqoh Naqsabandiyyah
Kholidiyyah di daerah Banjarnegara Jawa Tengah.
Semenjak itu,
Parakancanggah selain pusat santri dan kaum muslimin, juga diwarnai dengan
kegiatan suluk yang dilakukan oleh para murid Thoriqoh.Para santri tidak hanya
terbatas anak-anak atau kalangan muda saja, mereka yang sudah dewasa bahkan
berusia lanjutpun bisa mondok di situ.
Semua makhluk,
termasuk manusia, pasti akan menemui ajalnya. Hanya Allah SWT lah tetap akan
BAQO’ (abadi). Eyang Guru KH.Abdul Fatah akhirnya juga tidaklepas dari
ketentuan Allah SWT tersebut. Pada hari Rabu, tanggal 20 Robi’ul Akhir 1361
H(bertepatan tahun 1941 M), Eyang Guru Romo KH. Abdul Fatah berpulang
keharibaan Allah SWT Tuhan pemilik sekalan alam.Inalillahi wa ina ilaihi
roji’un. Usia Almaghfurlah KH. Abdul Fatah saat itu kurang lebih 81
tahun.Betapa banyak pemikiran, perjuangan dan jasa-jasa beliau
tinggalkan.Adalah kewajiban kita, meneruskan perjuangan beliau. Kita patut
meneladani kegigihan, ke-juhudan , jihad dan mujahadah beliau semenjak
kanak-kanak, merantau mencari ilmu hingga menjadi ‘ulama.
KH. HASAN
FATAH
A. Sejarah Kecil
MbahHasanadalahputraketigadariMbah
Abdul Fatah, namaaslibeliauadalahbalya.
B. Pendidikan
Mbahhasanpernahmenuntutilmu (mondok) di TermasJawaTimur,
tetapibeliautidakcukup lama mondok di Termas, beliaulebih lama menuntutilmu di
Makkahbersamaandenganhajinya yang pertama.MbahHasandiajakuntuknaik haji
olehMbah Abdul fatahpadatahun
1921.Beliauhampirduataun.SepulangbeliaudariMakkah,beliausempatmembantuayahnya
(Mbah Fatah) dalampembangunanPondokPesantren Al-Fatah.
MbahHasanmempunyaibanyakkelebihan,
salahsatunyayaitu, beliausepertimemilikiilmuladunni (ilmu yang
langsungdiberikanolehAlloh SWT), secaraDisformalMbahHasanbelajarsecaraotodidak,
secarabahasapesantrenMbahHasanmempnyaisyir-syir (ilmu yang menyatudarialam).
BeliaumendapatkankelebihanitukarenabeliauseringberistiqpmahmenghadiahifatihahkepadaNabiyullohKhidzir
Al Balkani (Balkan yang bertempat di Bosnia).
C.
Perjuangan
FaktamenunjukanbahwaJam’iyah
NU (NahdlatulUlamma) secarastrukturalmasukkeBanjarnegarabarupadatahun 1952,yangdipeloporiolehMbahHasan
Fatah.KarenasaatEyang guru Abdul fatahmasihhidup,beliauhanyamengamalkanajaran
NU ataudisebutjugaEyang Guru Abdul Fattah penganut NU secarakultural.
SaatituKyaiRidwan/korda
NU BnayumasbersamaKyaiHisyamZuhdi,KyaiSuheni, danKyaiMarehmenghadapMbahHasan
Fatah agar mempelopripendirian NU di Banjarnegara.
Kepadaparatamukyaitersebut,Mbahhasan
Fatah mintawaktuistikhoroh.Dan
seminggukemudianKyaiRidhwanbersamarombongansowankepadaMbahHasanmenanyakanhasilistikhorohnya.
Alhamdulillah saatitujugatejadikesepakatanuntukmembentukNahdlatulUlama
di Banjarnegarapadatahun 1952 itulahcikalbakalberdirinya NU struktural di
Banjarnegara.
MbahHasanterkenalmemilikiukhuwahtingggikarenabeliauselalumembangunsilaturrahimdengantokohorganisasidiliuarpondokantara
lain:
1.KH. Ahmad BusyeriadalahTokohbesar SI (syariatislam)
2.KH. Muhammad HummamadalahTkhbesarMuhammadiyyahBanjarnegara
3.H.M. SoedjirnoadalahtokohNasionalisBanjarnegara yang disegani di
daerahBanjarnegaradansekitarnya.
AlmaghfurllahMbahHasan Fatah
adalahMursyidTohriqohNaqsabandiyahAnNahdliyah yang berdomisili di Ponpes Al
fatahBanjarnegaradantelahmelebarkansayapnyake-KabuapatenWonosobo,Banyumas,Kebumen,Batang.
SetelahTohriqohNaqsabandiyahdihidupkankembaliolehAlmarhumAlmaghfurllahKH.Hasan
Fatah, makaperkembanganmurid-muridnyasangatpesat, sampai di Lampung,Jakarta
danbeberapadaerah lain. BeliaujugasalahseorangpenguruswilayahIdarohwusthoTohriqohNaqsabandiyahJawa
Tengah.
Dan
Alhamdulillah perkembanganThoriqohsaatinimasihberjalanbaik.Dalamwaktu 1 tahunadakegiatansulukdariwargathoriqohsebanyak
3 kali yaitu,bulansuro (Muharram),Rajab
danRamadhan.Karenafasilitastempatmasihterbatas ,makaparaikhwanthoriqoh yang
akanmengikutikegiatansulukdibatasi/bergilir.
DalampengelolaanPondokpesantren
Al fatahMbahHasanfatahdibantuoleh KH.Ridhofatah (adikbungsu) dan KH. Ahmad
Dalimi (Menantu). Selanjutnyapadatahun 1975atasijindanrestuMbahHasan Fatah, KH
AlieHananfatahbersamaKyaiZaenalabidinmenghadapnotaris Rm. Suprapto, SH di
Semaranggunamendapatkanlegalisasisebagaibadanhukumyayasan.
D. Pernikahan
BeliaudinikahkandenganjandaanaksaudagarMbahPutriSomadketurunankeratonjogjabernamaNy.
Sama'i. Mbahhasanadalahseorang yang lincah, politikus, kyai, danulama'. Dan
beliaubergabungdalam AUI (AngkatanUlama Islam) yang berlokasi di
somalayu,Kebumen. Waktuitu AUI
sudahmelakukanpemberontakankepadaBelanda.Beliaumenjadiprajurit di AUI
selamasatutahun.Berbedapadawaktuitumasyarakat
Indonesia
memberontakBelanda yang bersenjatakanbamburuncing,
sedangkanbeliaumenggunakantasbih. Padawaktuitu, BelandakesulitanmencariDesaSomalayu.
SebenarnyaMbah
Fatah tidaksetujujikaMbahHasanbergabungdalam AUI.Kemudianmeletusgerakankemerdekaanindonesia,
padasaatitujugakeluargabeliau di suruhuntukmengungsisemua.KeluargaMbahHasanmenungsikeWatubelah,
karenamerasatidakamanbeliauteruspindahkearahtimurtepatnya di Kaligowa,
Kaliwiro, perbatasanBanjarnegara, Wonosobo,
Kebumenselamaduatahun.Selamamengungsibeliaujugamenyebarkan (dakwah)
secaratertutupatauterselubung, dengancaraberdagang. Padasaatbelandagencargencarnyamenggempur
Indonesia, termasukkomplek PP Al-Fatah, di bumihanguskanolehbelanda, KH.Hamzahmenjadikorbannya.
E. PeloporKemerdekaan
Dan NU
Setelahkemerdekaan
RI keluargaMbahHasanpulangdanmendirikanpondok, danmasjid denganbambu.Salah
satusantrinyaada yang dari Sumatera, bahkan Malaysia.WaktuitusantrimbahHasankuranglebih
20 santri.Tapidari 20 santritersebutmerekaberhasilmenadi orang besar, Ulama'.Salah
satunya KH.Muntaha, KH. Hasan (GunungTawa), KH.ZainudinTempel (Kretek).
MbahHasanadalah
orang salaf, Beliau di tunjukuntukmengurusiToriqoh, dan di bantuolehistrinyaNy.Samai'
danbeliauadalah orang pertama yang mendirikan madrasah di Banjarnegara, yang
padawaktuitumasih di beri SR(Sekolah Rakyat).
Orang NUmengusulkanuntukmendirikanMWB(Madrasah
WajibBelajar).MWB didirikanpadatahun 60-an, yang mengusulkanadalahKH.Syafrudin
(mentri agama semasapresidensoekarno).
MbahHasandulunyabukan
di pihak NU tetapi di pihak SI.Jugaikutmengurus MASYUMI.Suatusaatketikambah
Fatahwafat, Beliaubingung, Pilih SI atau
MASYUMI. Setelahitubeliaubermimpibertemu KH.Rifa'i,
SetelahitubeliaumenemuiKH.Rifa'idanbeliau di suruhmasuk
NU.BeliaujugaikutToriqohdanQiro'ahSab'ah di tempatKH.Rifa'iselama 40 hari.
MbahHasanpadawaktuitujugaikutsertadalammendirikan
NU.Padasaatitu NU pertama di asrikan di PurworejoKlampokKabupatenBanjarnegarasebagaipusatnya.Dalammendakwahkan
NU MbahHasanharusbekerjakeras, sepertiharusberjalan kaki puluhan kilometer,
paling ringanmenggunakansepeda.
MbahHasanadalahpeloporpembangunan
masjid Al-Fatah sekitarTahun 60-an. MbahHasantidakmau di sebutmenjadipimpinan.Karenamenurutbeliau,
Iniadalahpondokpesanntrenbukanperusahaan.
SetelahNy. Samai'istriMbahHasanwafat,
BeliaumenikahlagidenganNy.Khoiriyah.PutridariKH.Baedlowi,Lasem, Rembang.
MbahHasanadalahseorangkyaiahliTashawuf.Beliauselalumemperhatikankesehatan,
pendidikan, politik, dankemajuan.
F. KepulanganKeRahmatulloh
Tidak
lama denganpernikahanbeliaudenganNy.Khoiriyah, MbahHasanmengalamisakit yang
sangatparah (struk), beliausudahberusahaberobatkemanapunbelumadadokter yang
bisamengobatipenyakitnya.Suatuketikabeliau di do'akanolehMbahja'farBukateja.
Dan Alhamdulillah beliaumasihbisabertahanhingga 9,5tahun,
tapiselamaitubeliaususahuntukberbicara.
HinggapadasuatuhariAllah
SWT menghendakibeliauuntuksowankepada-Nya, Innaalillahiwainnaailaihiroji'uun.Beliauwafatpadatahun
1990, dandimakamkanpadatanggal 1 suro.
KH. HASYIM HASAN FATAH
A.
Sejarah Kecil
Dilahirkan di dusun Jambansari
Parakancanggah pada tanggal 7 Juli 1938 dengan nama Hasyim. Putera pertama dari
tujuh orang putera-puteri KH. Hasan Fatah dengan Ny. Sama'i ini sejak kecil tumbuh dan berkembang
di bawah asuhan ayah da ibunya di lingkungan Pondok Pesantren yang telah di
rintis oleh kakeknya KH. Abdul Fatah, putera Kyai Naqim (Maqim) dari sawangan
Madukara.
Saat beliau kecil masih menjumpai
kakeknya.Saat kakeknya wafat, beliau masih berusia 4 tahun. Kondisi ini sangat
memberikan pengaruh kejiwaan padanya disaat beinteraksi dengan sang kakek yang
terkenal seorang yang 'alim, faqih dan riyadloh.
Sementara ibunya, Ny. Sama'i
merupakan puteri ketiga dari H. Abdusshomad Koplak, Banjarnegara.Kakek dari
ibunya ini diriwayatkan berasal dari Yogyakarta.
B. Pendidikan
Beliau mendapat bimbingan dan
pendidikan agama langsung dari ayahnya
saat kecil . Menurut riwayat, ayahnya sangat keras sekali dalam membimbing
mengaji kepadanya agar mampu mengaji.Di samping itu, beliau juga pernah mengaji
kepada Kyai Ahmadi di pesantren Purwanegara.
Di sela-sela mengaji tersebut,
Beliau juga belajar di Sekolah Rakyat
(SR) hingga tamat pada tahun 1953, kemudian meneruskan di SMP PGRI (sekarang menjadi
Perguruan Taman Siswa) Banjarnegara hingga selesai pada tahun 1957.Selepas dari
SMP, ia meneruskan pendidikan di PP Al-Wahdah Lasem Rembang, di bawah asuhan
romo KH. Baedlowi Abdul Aziz.
Selama mondok di Lasem inilah
pribadi beliau benar-benar di bentuk sebagai calon `ulama' dengan menempa diri
untuk memperdalam ilmu agama.Ketekunannya di pondok hingga dipercaya menjadi lurah
pondok di PP. Al-Wahdah Lasem, sehingga selain mengaji beliau juga di minta
membantu Kyai untuk mengajar para santri serta ikut berdakwah di masyarakat.
Pengalaman menjadi lurah pondok ini juga nantinya menjadikan pribadi beliau
yang tengah menginjak usia remaja mampu mengorganisir dakwah di masyarakat
maupun di pesantren.
Saat mondok di Lasem semua
'Ulama' yang ada menjadi tujuannya dalam mengaji, sehingga selain mengaji
kepada KH. Baedlowi Abdul Aziz, juga mengaji kepada Mbah KH. Ma'shum, Syaikh
Masduqi dan KH. Thoblawi Tuyuhan. Kyai Hasyim juga pernah tabarukan di
tempat KH.Asya'ari PP. Poncol Beringin Salatiga untuk mengaji kitab Shahih
Bukhori.
C. Pernikahan
Setelah lama mondok di Lasem,
akhirnya Allah SWT.Mentakdirkan Kyai Hasyim mejadi menantu gurunya yaitu
KH.Thoblawi Tuyuhan pada tahun 1962. Kyai Hasyim menikah dengan Ny. Siti
Mas'udah puteri ketiga dari KH.Thoblawi Tuyuhan dengan Ny.Hj.Rabi'ah Adawiah
Tuyuhan.KH.Thoblawi adalah putera pertama KH.Ibrohim, seorang 'ulama' dari
Tuyuhan Lasem yang memiliki garis keturunan dari Mbah Sambu (Sayyid Abdurrahman
Basyaiban) Lasem.
Setelah menikah, Kyai Hasyim
masih meneruskan ngaji di pondok.Tiga tahun kemudian pada tahun 1965, beliau
mulai hidup bersama istri dengan memboyongnya ke parakan canggah.
Kehidupan awal rumah tangga
beliau benar-benar dimulai dari titik nol, sehingga lika liku kehidupan yang
serba sulit pernah dilaluinya.Meski demikian, kesibukanya mencukupi kehidupan
keluarga tidak menghalanginya untuk terus membantu ayahnya dalam mengajar mengaji
kepada para santri.
Dari pernikahan tersebut, hingga
wafat Kyai Hasyim di karuniai 8 anak dan 16 cucu.Semua putera-puterinya senantiasa
tidak pernah lepas dari pendidikan pesantren.
D. Pelopor pengembangan P.P Al-Fatah
Perkembangan dan kemajuan PP
Al-Fatah saat ini tidak terlepas dari pemikiran dan perjuangan Kyai Hasyim.Saat
pulang dari pesantren Lasem, kondisi PP Al-Fatah masih sangat sederhana.Saat
itu yang berkembang hanyalah murid Thoriqoh Naqsabhandiyyah- Kholidiyyah dan
Pondok putera.Dari sisi fisik pun juga hanya berupa bangunan masjid dan kamar
santri saja.
Melihat kondisi yang seperti ini
dalam catatan pribadinya Kyai Hasyim
pada awal perjuangannya bersama ayahnya KH. Hasan Fatah, pamanya KH. Ridlo
Fatah dan adiknya KH.Ali Hanan membenahi dan mengembangkan PP Al-Fatah agar
semakin maju dan berkembang.
Usaha tersebut semakin gencar
lagi saat beliau meneruskan ayahnya sebagai pengasuh dan mursyid Thoriqoh
semenjak di tinggal wafat ayahnya pada tahun 1990. Di antara perjuangan dan
pengembangan PP Al- Fatah Banjarnegara yang beliau pelopori antara lain :
1.
Pembangunan
Aula PP Al-Fatah
Pembangunan
ini bermula karena belum adanya tempat pengajian bagi ibu-ibu muslimat di
lingkungan pondok. Akhirnya tanah wakaf Mbah KH. Hasan Fatah yang asalnya
berupa kolam di bangunlah aula dengan dana yang didapat dari swadaya jama'ah
serta ikhwan Thoriqoh.
2.
Pembangunan
Pondok pesantren Putri Al-Fatah
Perintis dan
pembangunan PP Puteri Al-Fatah ini di awali dengan upaya mencari dana untuk
memberi tanah dari keluarga almarhum Mbah KH. Hamzah hingga pembangunan
gedungnya. KH hasyim saat itu bertindak sebagai ketua panitia, Mbah KH. Ridlo
sebagai sekertaris, sementara KH. Ali Hanan yang berusaha mencari donasi dari
pihak luar (pemerintah). Atas usaha keras ini, akhirnya terbangun dua lantai
untuk PP Puteri Al-Fatah.
3.
Pembangunan
Gedung Pasulukan
Pada mulanya
tempat pasulukan sangatlah sederhana, sehingga di kembangkan dengan pembangunan
gedung berlantai dua. Pembangunan ini juga di pelopori KH. Hasyim Hasan bersama
Mbah KH. Ridlo Fatah. Adapun pendanaan berasal dari infaq para ikhwan/ikhwati
Thoriqoh.
4.
Pengembangan
Tanah Wakaf
Karena
sangat terbatasnya lahan PP Al- Fatah, KH. Hasyim bersama KH. Ridlo
memprakarsai perluasan tanah wakaf di daerah Pacet dengan mengajak ikhwan/
ikhwati Thoriqoh untuk turut andil dalam wakaf. Tanah yang dibeli adalah tanah
keluarga almarhum KH. Hamzah saat ini bisa dimanfaatkan untuk gedung MTs
Al-Fatah, SMK Al-Fatah dan MA Al-Fatah.
5.
Pembangunan
Sekolah Formal di Lingkungan PP Al-Fatah
Rintisan
sekolah formal di lingkungan di mulai dengan pendirian Yayasan PP Al-Fatah pada
tahun 1975 yang di ketahui pertama kali oleh Kyai Hasyim. Dari sinilah kemudian
KH. Ali Hanan di bantu KH. Zainal Abidin merintis berdirinya sekolah MTs, MA
hingga SMK. Terlebih setelah Kyai Hasyim Agak terganggu kesehatanya,
kepengurusan Yayasan Al-Fatah di teruskan KH. Ali Hanan.
6.
Pembangunan
Masjid PP Al-Fatah
Gagasan
renovasi Masjid, di munculkan KH. Hasyim setelah beliau pulang menunaikan
ibadah haji yang ke dua (1997), hingga akhirnya saat ini masjid dibuat menjadi
dua lantai. Sebagian besar dana pembangunan Masjid berasal dari infaq ikhwan
dan ikhwati Thoriqoh serta para jama'ah Masjid.
7.
Pembangunan
Asrama Putera PP Al-Fatah
Karena
kondisi bangunan semakin memprihatinkan, KH. Hasyim mempelopori pembangunan
asrama putera dengan dari para ikhwan/ikhwati Thoriqoh serta para wali santri. Pembangunan
tahap pertama pada komplek asrama sebelah barat yang dibangun dua lantai.
Kemudian tahap kedua komplek asrama sebelah timur hingga menjelang akhir hayat
beliau,Al-hamdulillah atas izin Allah swt telah berdiri tegak dua unit gedung
asrama puetra dua lantai beserta kamar mandi yang sangat representatif.
E.
Kegigihannya sebagai pendidik
Setelah
menikah, kehidupan Kyai Hasyim diawali dari titik nol. Sebagai alumni
pesantren, Kyai Hasyim memiliki aktifitas yang utama membantu ayahnya KH. Hasan
dalam mengajar para santri. Meskipun kondisi ekonomi serba pas – pasan semangat
Kyai Hasyim untuk mendidik santri tidak pernah lelah.
Pada
mulanya, Kyai Hasyim mengajar pengajian kitab – kitab kuning bersama KH. A.
Dalimi. Disamping itu pernah pula K. Azizi Thoblawi dan KH. Mujtahidi Thoblawi
(adik Ibu Ny. Hj. Mas'udah Hasyim) saat masih lajang turut membantu mengajar
mengaji.
Kegiatan
rutin KH. Hasyim di pondok biasanya setiap ba'da shubuh sorogan kitab santri
putri, ba'da dluhur sorogan kitab santri putra, kemudian ba'da ashar mengaji
kitab, dilanjutkan ba'dal 'isya juga untuk mengaji hingga larut malam.
Di
siang hari disamping bertani, Kyai Hasyim juga pernah berdagang serta menjadi
guru honorer di PGAN Banjarnegara selama 6 tahun serta menjadi Hakim Honorer di
Pengadilan Agama Banjarnegara.
Kegiatan
pengajian kitab tersebut semakin padat lagi jika telah memasuki bulan Ramadhan.
Pengajian bulan Ramadhan dilakukan hampir tiap waktu sampai malam hari.
Kegiatan
pengajian kitab ini dilakukan Kyai Hasyim dengan sangat telaten dan istiqomah.
Sampai terkadang jika santri belum ada yang datang, beliau tidak segan-segan
untuk mengaji.
Saat
ayahnya KH. Hasan wafat pada tahun 1990, aktifitas Kyai Hasyim semakin padat
lagi. Dimana beliau beliau selain menjadi pengasuh PP Al-Fatah, juga sebagai
mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyyah Kholidiyyah. Aktifitas Kyai Hasyim di samping
mengajar mengaji santri juga membimbing para murid Thoriqoh, terutama di saat
sedang suluk di bulan Muharram, Rajab, dan Ramadhan.
Bagi
masyarakat Kyai Hasyim merintis pengajian
selapanan setiap hari Ahad wage beserta Pengurus Cabang NU Banjarnegara
saat itu di aula PP Al-Fatah. Pengajian ini hingga saat ini masih terus
berlangsung. Kemudian beliau juga merintis pengajian kitab Ihya Ulumuddin karya
Imam Al-Ghazali setiap Ahad pagi di serambi Masjid Al-fatah.
Di
saat putra-putri beliau telah selesai mondok, kegiatan pengajian Kyai Hasyim
dibantu oleh putra-putri serta putramenantu beliau. Salah satu sifat yang
beliau miliki sepengetahuan penulis, Kyai Hasyim senang mengkader yang
muda-muda untuk turut mengajar mengaji dan berjuang. Pengalaman penulis, saat
bulan Sya'ban 1416 H menikah dengan putri beliau (Fitri Muhlishoh ), pada bulan
Ramadhan langsung diminta mengajar kitab yang cukup banyak, meskipun secara
fisik beliau masih memungkinkan mengajar.
Begitu
pula disetiap menghadiri pengajian di masyarakat, beliau sering mengajak yang
muda-muda untuk berkiprah. Pengalaman penulis sendiri, jika mendampingi beliau
di setiap pengajian, beliau sering menyuruh penulis memberikan pengajian
dahulu, baru kemudian beliau memberikan mau'idlah yang terakhir dan menutup
dengan doa.
Karena
itu, setelah beliau sakit cukup parah pada tahun 2003 di RSU Margono, meski
secara fisik kesehatan menurun, namun beliau tetap terus mengajar dan
membimbing. Beliau selalu mengontrol jika ada pengajian yang masih kosong untuk
diisi. Bisa dikatakan, dalam kondisi sakit, Kyai Hasyim membimbing yang
muda-muda dengan cara memberikan kesempatan dan dorongan kepada mereka untuk mbadali
(menggantikan) jadwal mengaji beliau.Beliau sangat gembira sekali jika melihat
yang muda-muda bisa mengajar ngaji kapada para santri maupun masyarakat.
Walhasil,meskipun
beliau sudah lemah fisiknya masih terus membimbing dan mendidik sampai tatkala
detik-detik menjelang wafat, beliau sebenarnya dalam posisi menghadiri
pengajian kitab kifayatul atqiya' bersama para kyai yang diadakan rutin oleh
idaroh syu'biyyah Jam'iyyah ahlith Thoriqoh al-Mu'tabaroh al-Nahdliyyah
Kabupaten Banjarnegara.
F. Perjuangannya
Membentengi Aswaja
Di sela-sela
mengajar dan berbagai aktifitas tesebut, Kyai Hasyim selalu menyempatkan aktif
diberbagai organisai kemasyarakatan dan keagamaan, terutama di bawah naungan
Nahdlatul Ulama' (NU). Diawali sebagai ketua PCGP Anshor Kabupaten
Banjarnegara, kemudian menjadi ketua PCNU Banjarnegara, Rois Syuriyah PCNU
Banjarnegara, mustasyar PCNU Banjarnegara, Rois Idaroh Su'biyyah Jam'iyyah
ahlith Thoriqoh al-Mu'tabaroh al-Nahdliyyah (JATMAN) Kabupaten Banjarnegara,
Rois Awwal Idaroh wustho JATMAN Provinsi Jawa Tengah dan anggota Majlis Ifta'
Idaroh aliyah JATMAN.
Perjuangan
KH. Hasyim selain menjadi guru, ustadz, kyai, hakim juga dihabiskan untuk
memperjuangkan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' hingga akhir hayatnya. Seperti diketahui,
saat beliau wafat, Kyai Hasyim masih tercatat sebagai Mustasyar PCNU
Banjarnegara dan Rois Idaroh Syu'biyyah JATMAN Banjarnegara.
Semangat
perjuangan KH. Hasyim melalui Jam'iyyah NU karena didasari perjuangan untuk
membela 'aqidah ahlisunnah wal jama'ah (ASWAJA). Menurut pengamatan
penulis, KH. Hasyim jika dalam kondisi sehat selalu berusaha hadir di setiap
ada acara pertemuan para 'alim 'ulama', baik pada forum Muktamar NU, Muktamar
Thoriqoh, Munas NU, Munas Thoriqoh maupun Manaqib Kubro Thoriqoh. Kecintaan
pada Jam'iyyah NU dan Thoriqoh dilandasi karena kecintaan beliau pada para
'ulama' sebagai pewaris para nabi. Beliau sangat senang sekali bila bisa
silaturrahim dengan para 'ulama' .
G. Pertemanan dengan
Gus Dur
Ketekunan
Kyai Hasyim dalam menggerakan Jam'iyyah NU menjadikan dirinya memiiki relasi
dengan para tokoh NU baik tingkat lokal maupun nasional. Relasi yang sangat
erat terjadi dengan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurut Kyai Hasyim,
kedekatan dengan Gus Dur bermula saat acara halaqoh di Cilacap, kemudian
diteruskan saat Gus Dur bersedia menjadi pembicara saat Haflah Akhirussanah PP
Al-Fatah serta Apel Akbar NU di Alun-alun Banjarnegara.
Kejadian
yang tak pernah terlupakan bagi Kyai Hasyim bersama Gus Dur adalah, tatkala
akan menuaikan ibadah haji pertam kali pada tahun 1991. Saat itu karena Kyai
Hasyim menuaikan ibadah haji dengan paspor hijau mendapat kesulitan mengurus
visa di Kedutaan Saudi Arabia, karena musim haji tahun itu bersamaan presidan
Soeharto juga menuaikan ibadah haji, sehingga sangat ketat sekali bagi mereka
yang akan berhaji dengan paspor hijau.
Di
tengah keputusasaan untuk mengurus visa tersebut, Kyai Hasyim sowan ke Gus Dur
yang saat itu menjadi Ketua Umum PBNU di kantor PBNU Jl. Kramat Raya. Saat
bertemu Gus Dur Kyai Hasyim menceritakan
niatnya untuk pergi haji dan Gus Durpun menyambut dengan senang sekali, namun
Kyai Hasyim menceritakan kesulitan mengurus visa, spontan Gus Dur mengetik
sendiri untuk membuat surat ke Kedubes Arab Saudi, setelah mendapat surat tersebut
Kyai Hasyim segera bergegas ke Kedubes Arab Saudi dengan menyampaikan surat
dari Gus Dur. Akhirnya atas izin Allah, tidak berselang lama Kyai Hasyim diberi
visa oleh Kedubes Arab Saudi dan segera berangkat ke tanah suci untuk
menunaikan ibadah haji.
Kedekatan
Kyai Hasyim dengan Gus Dur juga penulis saksikan sendiri, saat penulis akan
wisuda S-2 di IAIN(UIN) Syahid Jakarta pada tahun 1998,saat itu meski Gus Dur
dalam kondisi sudah tidak bisa melihat, baru mendengar suara Kyai Hasyim
langsung menyambutnya dan mengenali akan kehadiran Kyai Hasyim dan Nyai Hasyim,
sehingga Gus Dur mengajak bicara cukup lama seperti sahabat yang lama tak
bertemu.
Pertemuan
Kyai Hasyim dengan Gus Dur berikutnya Setelah Gus Dur tidak menjadi presiden.
Sehabis menghadiri acara walimatul 'Ursy di Kebumen Gus Dur menyempatkan
silaturahim ke kediaman Kyai Hasyim.
H. KH. Hasyim Hasan
Wafat
Dalam perjalanan hidupnya, Kyai
Hasyim pernah mengalami dua kali kecelakaan lalu lintas yang cukup
parah.Pertama saat perjalanan dari Banjarnegara menuju Wonosobo yang
mengakibatkan patah tulang.Kedua saat perjalanan pulang dari Demak ke
Banjarnegara. Dari kedua peristiwa tersebut, secara medis memberikan dampak
yang cukup berpengaruh pada kesehatan Kyai Hasyim di masa masuki usia senja.
Pada tahun 2003, setelah
menunaikan shalat Idul Fitri Kyai Hasyim merasa kurang sehat.Akhirnya, karena
di Banjarnegara para dokter Rumah Sakit masih banyak yang cuti dibawa ke RSUD
Margono Purwokerto.Setelah di bawa ke RSUD Margono rupanya kondisi kesehatan
beliau semakin parah, sehingga sempat dirawat hampir satu bulan.Atas izin Allah
swt, Kyai Hasyim masih diberi umur panjang dan diberi kesembuhan.
Meskipun telah sembuh di usianya
menginjak 66 tahun tersebut, kondisi fisik Kyai Hasyim mualia menurun, sehingga
banyak aktivitas yang mulai dikurangi dengan memberikan kepercayaan kepada yang
muda-muda untuk menggatikan. Selain dari itu, sejak sakit yang cukup parah
tersebut, Kyai Hasyim berkali-kali masuk Rumah Sakit, baik di RSI Banjarnegara,
RSUD Banjarnegara maupun RSU Nirmala Purbalingga.Bahkan pernah pula berobat ke
Rumah Sakit Paru-paru Salatiga.
Menjelang Kyai Hasyim wafat,
sebenarnya kondisi beliau sedang tidak merasakan sakit yang berarti.Bahkan bisa
dibilang saat menjelang wafat beliau dalam kondisi sehat sekali dibandingkan
hari-hari sebelumnya.
Enam hari sebelum wafat (Minggu
Pon, 14 April 2013) Beliau mengundang seluruh anak cucu Mbah KH.Hasan untuk
mengadakan pertemuan Bani Hasan Fatah di kediaman beliau.Dua hari sebelum acara
tersebut, beliau memerintahkan penulis untuk membuatkan undangan. Akhirnya
pertemuan pun terlaksana pada hari Minggu Pon tersebut mulai jam 09.30.
Keluarga besar Bani KH.Hasan Fatah yang tinggal di Banjarnegara hampir semua
menghadiri acara tersebut.Acara ini menjadi istimewa karena tidak mengira jika
saat itu merupakan ajang pertemuan terkhir Kyai Hasyim, karena enam hari
setelahnya beliau wafat.
Pada hari Selasa Kliwon, 16 April
2013, Kyai Hasyim ta'ziyah ke Wonosobo atas wafatnya KH. Taftazani Damanhuri,
sepupu beliau ( Ibu KH. Taftazani adalah kakak Mbah KH.Hasan). Bahkan saat
pelepasan di Masjid Al-Fatah pun Kyai Hasyim juga melepasnya dengan memberikan
sambutan dan doa. Banyak yang merasakan bahwa saat memberikan sambutan
tersebut, Kyai Hasyim nampak sehat dan lantang sekali suaranya.
Pada hari Kamis, 18 April 2013,
KH.Ahmad Warson Munawwir wafat. Bagi Kyai Hasyim hubungannya dengan Kyai Warson
semakin dekat karena sama-sama memiliki putra yang besannya sama dari Kediri.
Karena itu, putera-puteri beliau banyak
yang bertakziyah ke Yogyakarta. Pada hari Jum'at, 19 April 2013 pagi, penulis
seperti biasa setelah dari Yogyakarta menjumpai beliau kediaman. Kyai Hayim
tampak sehat sekali, menanyakan kabar dari Yogyakarta, menanyakan petugas
khotbah Jum'at, di mana saat itu jika petugas berhalangan pesan beliau supaya
penulis menyiapkan diri menjadi badal. Jum'at siang, beliau menuaikan shalat
jum'at yang kebetulan berangkat ke Masjid beriringan dengan penulis.
Saat shalat Jum'at di mana
penulis menjadi Khotib beliau benar benar tampak sehat. Seusai Khotbah, beliau
mengingatkan adiknya KH. Bunyamin agar nanti di adakan sholat ghoib untuk untuk
al-Maghfurlah KH. Warson Yogyakarta. Seusai sholat Jum'at, beliau juga memimpin
langsung acara tawajjuhan, penulis juga masih sempat menemani beliau di ndalem
untuk duduk-duduk dan berbincang-bincang di ruang tengah.Salah satu materi
perbincangan adalah menanyakan persiapan acara ziaroh wali songo dan pengajian
Sabtu Wage. Disaat bincang-bincang, beliau juga menerima tamu wali santri dari
Bakal, Batur dengan anaknya yang sebentar lagi akan mengikuti UN Mts. Kyai
Hasyim terus memberikan arahan untuk shalat malam dan banyak membaca shalawat.
Pada Jum'at malam Sabtu (ba'da
isya'), penulis menelpon di ruang tengah ndalem, kemudian karena beliau
mendengar suara penulis, beliau memanggil-menggil dari dalam kamar untuk di
tuntun ke ruang tengah. Saat duduk-duduk di ruang tengah beliau banyak mengajak
berbincang-bincang dengan penulis, termasuk menanyakan jumlah jama'ah ziaroh
walisongo berapa bus dan dari mana saja serta persiapan acara pertemuan Kyai
besok Sabtu Wage. Tidak lama kemudian, istri penulis (Hj. Fitri ), Mbak Hj.
Durroh, Mas H. Syafi' dan temasuk Ibu Ny. Hj. Hasyim ikut berkumpul
bersama.Pembicaraan akhirnya semakin hangat lagi hingga agak larut malam.
Sabtu Wage, 20 April 2013,
dikisahkan beliau malam harinya banyak nderes surat-surat pendek dan membaca
sholawat.Bahkan, kegiatan itu dilakukan beliau juga beberapa malam
sebelumnya.Sampai waktu shubuh, beliau masih menunaikan shalat shubuh.Sehabis
shalat shubuh, seperti biasa beliau duduk di ruang tengah, lalu ketika matahari
mulai terik berjemur hingga menjelang pukul 09.00 setelah berjemur kemudian
kembali ke ruang tengah untuk persiapan sarapan pagi. Saat itu juga masih ada
tamu yang mengkhabarkan akan bai'at thoriqoh serta ada santri yang minta do'a
restu akan mengikuti perlombaan porseni yang dilaksanakan hari itu di aula PP
Al-Fatah. Setelah selesai makan pagi beliau istirahat di kamar, sambil pesan
bila nanti telah berkumpul para Kyai di ruang depan akan menghadiri acara
pengajian kitab Kifayatul Adqiya' tersebut.
Tidak berapa lama, sekitar pukul
09.50 menjelang dimulainya acara pengajian, beliau terasa pegal dan sesak. Saat
itu telah berkumpul sekitar 50 lebih para Kyai yang akan mengikuti pengajian
dan musyawarah. Akhirnya beliau berpesan supaya penulis memulai acara
musyawarah para Kyai terebih dahulu.
Karena kondisi beliau semakin
kurang baik, sekitar pukul 10.30 keluarga akhirnya membawa beliau ke RSUD
Banjarnegara. Setelah di UGD RSUD Banjarnegara tidak berapa lama kemudian
sekitar pukul 11.15 Allah SWT menghendaki beliau untuk sowan kepada-Nya, Innaa
lillahi wa innaa ilaihi roji'uun.